KARYA KITA
Karya: M. Salsabil Lasarik
Siswa Klas X, SMAN I Teladan Yogyakarta
Karya: Qanita Qamarani
Siswa Klas X SMAN I Yogyakarta
Serangga dapat ditemukan di hampir seluruh tempat di muka bumi. Mereka mungkin berperan sebagai pemakan sekaligus pengontrol populasi tumbuhan, pemakan serangga atau binatang lain, penyerbuk, dan pengurai bahan organik. Dari sudut pandang manusia, serangga mungkin dianggap sebagai musuh, misalnya nyamuk, rayap, semut, kecoa, dan serangga pemakan tanaman. Namun sebaliknya, di sisi lain, serangga adalah binatang berguna! Banyak jenis tumbuhan membutuhkan serangga penyerbuk untuk berkembang biak, di samping banyak jenis serangga lainnya yang menghasilkan bahan-bahan berguna.
Oleh karena itu, serangga mungkin menjadi binatang yang paling banyak dikaji oleh manusia, bahkan oleh ahli-ahli di luar bidang ilmu serangga (entomologi) murni, misalnya kedokteran, peternakan, pertanian, kehutanan, dan bahkan oleh pakar-pakar kedokteran forensik. Bahkan, banyak hasil karya manusia, misalnya helikopter, diinspirasi oleh serangga.
Cara terbaik untuk mempelajari serangga adalah dengan mengamati perikehidupan mereka di alam, atau mengumpulkannya (diistilahkan dengan mengoleksi) untuk kemudian dipelajari dalam bentuk hidup atau mati (sebagai contoh spesimen). Bagi para pemula, kegiatan ini sangat mengesankan, dan diyakini mampu membuat mereka memahami serangga dengan lebih cepat daripada hanya sekedar membaca tulisan-tulisan di buku.
Koleksi serangga adalah salah satu kegiatan wajib dalam ilmu serangga untuk mendukung kajian-kajian biologi pada serangga. Kegiatan koleksi serangga adalah kegiatan mengumpulkan serangga, dan dianggap menjadi upaya awal manusia dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu serangga. Bagi sebagian besar orang, kegiatan ini sangat menarik, dan sering digunakan sebagai salah satu cara untuk rekreasi. Sementara bagi seorang entomologiwan, koleksi menjadi pintu pembuka untuk memahami perikehidupan serangga yang rumit.
Hal pertama yang harus Anda pahami pada koleksi adalah jenis serangga yang ingin Anda koleksi beserta penjelasan bioekologinya. Misalnya, jika Anda tertarik untuk mengoleksi sibar-sibar atau capung, maka Anda dapat mencari mereka di daerah yang berair, misalnya di sungai, sawah berair, danau, dan tempat-tempat lain sejenis. Namun, jika Anda berminat mengoleksi kupu-kupu, maka Anda dapat mencarinya di daerah-daerah yang masih ditumbuhi tumbuhan berbunga. Anda harus ingat, bahwa kupu-kupu amat mudah ditemukan pada bunga-bunga yang menyediakan serbuk sari dan madu. Dalam hal ini, informasi tentang keberadaan capung dan kupu-kupu sangat penting bagi Anda.
Alat dan bahan untuk koleksi
Hal kedua, Anda harus mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan koleksi. Apa sajakah itu?
Jika yang ingin Anda tangkap adalah serangga-serangga berukuran besar dan aktif di atas tanah, semacam kupu-kupu, kumbang, lebah, tawon, lalat dan sejenisnya, maka jaring ayun berguna bagi Anda. Anda dapat membuat sendiri jaring ini, atau memesannya pada orang yang ahli membuatnya. Jenis kain dan ukuran diameter jaring maupun panjang tangkai tergantung kebutuhan Anda. Jika Anda ingin praktis, maka Anda dapat membuat tangkai berukuran pendek.
Alat berikutnya yang Anda bawa adalah pinset. Anda dapat membelinya di toko, atau membuat sendiri dari bilahan bambu yang ditangkupkan.
Untuk menyimpan sementara serangga yang berhasil Anda tangkap, Anda dapat menggunakan kantung plastik (biasa) atau ber-klip, atau kantung kertas sederhana. Stoples plastik berukuran kecil juga dapat Anda gunakan, di samping vial-vial atau botol-botol kecil.
Jangan lupa sediakan buku catatan dan alat tulis (pensil). Anda bisa saja membawa spidol anti air. Namun, secara teknis, pensil lebih tahan air maupun bahan pelarut lain.
Anda juga dapat membawa kamera untuk mengabadikan serangga atau keberadaannya di habitatnya. Kamera non-digital dengan lensa makro maupun digital dengan fasilitas digital macro dapat menjadi pilihan untuk menghasilkan gambar yang bagus.
ENTOMOPEDIA
Reflex bleeding adalah fenomena menarik pada beberapa serangga, berupa pengeluaran hemolimpa dari lubang-lubang tertentu pada tubuhnya. Perilaku ini sebenarnya adalah reaksi bertahan serangga terhadap gangguan, misalnya dari pemangsa. Hemolimpa yang dikeluarkan ini bersifat alkaloid, beracun dan berasa sangat pahit.
Beberapa serangga yang diketahui melakukan reflex bleeding ini misalnya kumbang koksi, kumbang meloid, kepik punggung bungkuk (froghopper), dan kunang-kunang (firefly). Lalu, apakah reflex bleeding ini berfungsi optimal pada serangga yang memilikinya? Menurut penelitian, reflex bleeding ini mampu menurunkan tingkat pemangsaan dengan cukup nyata. Misalnya, hemolimpa yang dikeluarkan oleh Harmonia axyridis mampu menurunkan predasi oleh Coccinella septempunctata brucki hingga 60 persen.
Namun, pertanyaan lain muncul: Apakah reflex bleeding berpengaruh terhadap “kesehatan” dari si serangga yang mengeluarkannya? Ya! Individu kumbang koksi yang mengeluarkan hemolimpa ternyata mempunyai bobot tubuh yang cenderung lebih rendah, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata.
Phoresy adalah tindakan atau perilaku menumpang oleh satu organisme pada organisme yang lain, tanpa menimbulkan kerugian pada organisme yang ditumpangi. Istilah ini diperkenalkan oleh P. Leney pada tahun 1867. Banyak jenis organisme telah tercatat melakukan hal ini, terutama organisme yang tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berpindah ke tempat lain, misalnya tidak memiliki sayap. Phoresy secara tidak langsung (tidak sengaja) juga menguntungkan organisme penumpang karena dapat menghemat energi yang seharusnya digunakan untuk berpindah. Phoresy dapat bersifat fakultatif (kadang-kadang atau tidak selalu tergantung pada-), atau obligat (tergantung sepenuhnya pada-).
Beberapa contoh artropoda yang melakukan phoresy adalah pseudoscorpion dan tungau yang menumpang pada beberapa jenis organisme, termasuk serangga. Gambar di bawah ini menggambarkan bagaimana si penumpang mendapatkan keuntungan dari serangga yang ditumpanginya. Pada beberapa kasus, phoresy ini mengganggu kinerja organisme yang ditumpanginya, terutama karena harus mengeluarkan energi ekstra untuk mengangkut di penumpang “gelap” ini. Hubungan ini cukup menarik untuk diteliti, terutama dalam hal keuntungan dan kerugian yang dialami oleh organisme yang ditumpangi.
Di alam berlaku hukum “Setiap organisme tentu mempunyai musuh alami” yang bermakna sebagai potensi pengendalian pertumbuhan populasi satu jenis organisme. Pada aspek praktis, musuh alami ini dimanfaatkan manusia untuk mengendalikan serangga hama. Salah satu teknik yang digunakan manusia untuk memanfaatkan musuh alami adalah dengan melakukan pemindahan musuh alami dari satu tempat ke tempat lain. Pertanyaannya, apakah musuh alami tersebut bisa beradaptasi di lingkungan yang baru? Atau jika sanggup, apakah musuh alami tersebut justru menimbulkan kekacauan ekologis dengan memangsa organisme di luar organisme target? Jika hal kedua terjadi, maka pemanfaatan musuh alami harus ditinjau ulang karena berpotensi merusak susunan organisme dan fungsi ekosistem.
Salah satu bentuk kekacauan ekologis tersebut adalah terjadinya peristiwa pemangsaan oleh satu jenis organisme pemangsa pada organisme pemangsa yang lain, yang justru mengakibatkan potensi pemangsaan dari masing-masing pemangsa pada organisme target (manusia) menjadi berkurang. Inilah yang disebut sebagai Intraguild predation (IGP) yang didefinisikan sebagai pemangsaan oleh satu spesies organisme pada organisme lain yang menggunakan sumber pakan sama.
Lalu, bagaimana dampak IGP terhadap rantai makanan, jejaring makanan, dan secara makro pada fungsi ekosistem? Artikel ini membahas secara lengkap tentang hal tersebut. Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Kajian Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)
Salah satu komponen pengendalian lalat buah adalah melakukan pemantauan atau monitoring populasi, terutama pada upaya ekspor dan impor produk hortikultura ke dan dari luar negeri. Oleh karena itu, keberadaan alat perangkap lalat buah menjadi penting. Keberhasilan pemerangkapan lalat buah juga ditentukan oleh jenis alat perangkap yang digunakan.
Artikel ini membahas tentang modifikasi perangkap lalat buah dengan mempertimbangkan aspek perilaku serangga tersebut, yaitu kecenderungan pada warna dan bentuk buah. Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Teknologi Pengendalian Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)
KARYA KITA
oleh: Palupi Jatuasri (http://asree84.wordpress.com)
Ufuk timur memerah
Kulihat sahabatku Mentari menggeliat perlahan
menyapaku ramah
“Selamat pagi, Pelangi!”
Tentu, dengan riang akan kusapa kembali ia
“Hai, selamat pagi Mentari..!!”
Begitulah pagi di sepanjang hidupku
Bila ia tiada muncul
Hariku akan bermuram sungguh
Pelangi, itulah namaku
Seekor lebah madu
Kuhabiskan waktu di kebun hijau milik Pak Danu
Rindangnya pohon kapuk randu menjadi peneduh sarangku
Dan kali ini..
biar kubagi kisahku padamu,
Kisah Pelangi
Lebah mungil yang hidup dalam sebuah koloni
bernama Istana Mini
Akulah Pelangi si lebah pemandu
Tahukah engkau lebah pemandu?
Setiap hari tugasku memandu
teman-teman lebah pekerja
agar mereka menemukan nektar
bagi koloni di Istana Mini-ku
Setelah Mentari mencapai sepenggalah naiknya
aku akan pergi meninggalkan sarang
dan inilah aku, Pelangi si lebah pemandu
pergi menjalankan titah
dari sang Ratu
Satu ingin agar hadirku menjadi manfaat
untuk mereka yang ada di Istana Mini juga Pak Danu
Maka izinkan aku bekerja, Tuhan
sepanjang usiaku
Biarkan aku terbang
melayang jauh… tinggi
menggapai awan
menempuh jauh perjalanan bersama semilir angin
sembari bersenandung kecil
Sesekali terbersit dalam angan
Ketika jauh t’lah kutempuh jalan
adakah aku bisa pulang ke sarang?
Oh, sungguh sebuah anugrah Tuhan
Kumiliki sahabat sebaik Mentari
Meski tiap empat menitnya ia bergeser
empat derajat ke barat
berganti posisi
sungguhlah ia membantuku tuk temukan
jalan pulang ke Istana Mini
setiap hari
Ketika t’lah kutemukan hamparan bunga-bunga
aku akan bersiul kegirangan
Mengecap sedikit nektarnya
lalu menimbang sekiranya pantas
tuk kukabarkan kepada teman-teman lebah pekerja
Sekiranya layak, aku akan pulang
membawa sebuah kabar baik untuk mereka
Lewat gemulai tarianku
di tengah kerumunan koloni Istana Mini
teman-teman lebah pekerja akan tahu
ke mana sayap kecil mereka mesti tertuju
Demikianlah waktuku bergulir begitu syahdu
Dan kau tahu?
Itulah yang membuatku bahagia
menjadi Pelangi si lebah madu
Karang, 19 September 2010
O. smaragdina adalah salah satu spesies semut yang paling banyak dipelajari, terutama peranannya sebagai musuh alami beberapa jenis hama, dan di beberapa tempat di dunia juga dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan. Misalnya, petani di Muangthai menernakkan semut rangrang untuk dipanen larva dan pupanya (disebut kroto) dalam skala yang cukup luas. Di Indonesia, Anda mungkin sering menjumpai orang yang berprofesi mencari kroto di pohon-pohon besar.
Biologi semut rangrang cukup menarik. Serangga ini adalah spesies eusosial (sosial sejati) yang mempunyai koloni yang dihuni oleh beberapa kasta semut, dan kehidupannya sangat tergantung pada keberadaan pohon (disebut serangga arboreal).
Kajian mengenai peran semut rangrang sebagai pengendali hama telah dimulai pada tahun 304 Masehi di Cina. Pada waktu itu, semut rangrang terbukti mampu mengendalikan hama kutu-kutuan pada tanaman jeruk. Di Indonesia, semut rangrang juga diketahui memangsa beberapa jenis hama, misalnya larva lalat buah dan ulat bulu.
Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Serangga di Sekitar Kita Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)
Lalat buah hama dari famili Tephritidae adalah salah satu hama penting pada tanaman buahan dan sayuran (hortikultura) di Indonesia dan dunia. Larvanya (disebut sindat) merusak dan memakan bagian dalam buah. Buah yang dirusak oleh larva ini akan membusuk, karena dirusak pula oleh jamur dan bakteri yang masuk melalui luka buatan larva lalat buah, dan akhirnya jatuh ke tanah. Secara teknis, buah yang jatuh ke tanah menandakan bahwa larva lalat buah memasuki tahap pupasi (pembentukan pupa atau kepompong) dan siap berpupa di dalam tanah.
Kerusakan akibat lalat buah cukup nyata, namun masih kurang dipedulikan oleh manusia. Meskipun teknologi pengendalian lalat buah cukup banyak tersedia, penerapannya masih membutuhkan banyak kajian untuk memperoleh hasil optimal.
Artikel ini membahas bioekologi lalat buah, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan, dan taktik pengendalian dan pengelolaan yang potensial dilakukan. Pengembangan-pengembangan taktik pengendalian juga mungkin dilakukan berdasarkan paparan pada artikel ini.
Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Serangga di Sekitar Kita Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)
Salah satu modal serangga untuk mempertahankan diri dari guncangan alam adalah pelindung tubuh berupa kerangka luar atau eksoskeleton yang tersusun secara istimewa. Eksoskeleton juga berfungsi sebagai tempat melekat alat-alat tubuh bagian dalam. Susunan eksoskeleton unik, dan terdiri dari bahan-bahan yang menjamin kekuatan dan keamanan tubuh serangga, di antaranya kutikula yang mengandung zat lilin dan kitin.
Namun, eksoskeleton bukan bahan yang lentur. Oleh karena itu, serangga harus memperbarui ukuran eksoskeleton ini dengan cara mengganti lapisan luarnya, yaitu kutikula. Peristiwa pergantian kutikula ini disebut moulting.
Sifat fisika dan kimia eksoskeleton serta proses pergantian kutikula dibahas dalam artikel ini. Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Bedah Serangga Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)
Jika Anda melihat atau bertemu dengan serangga satu ini, maka reaksi pertama kali adalah menjerit, merasa jijik, dan mungkin lari menjauh. Tak salah reaksi tersebut, karena kecoa memang sudah telanjur identik dengan kotoran. Beberapa spesies kecoa, misalnya Periplaneta sp dapat ditemui di lubang pembuangan kotoran. Jadi, pendapat bahwa kecoa adalah kotor mungkin benar adanya.
Namun, jenis kecoa cukup banyak, dan beberapa spesies justru dianggap bermanfaat karena makan pada bahan-bahan organik atau sampah. Ukuran kecoa juga bermacam-macam, dan sampai saat ini, spesies terbesar adalah Macropanesthia rhinoceros yang berbobot 35 g.
Strategi pengendalian kecoa di rumah tangga sudah demikian berkembang, baik dengan menggunakan bahan kimia, misalnya pestisida, maupun menggunakan cara-cara yang lebih murah dan aman, misalnya sanitasi. Namun, bagaimanapun juga, pengendalian kecoa tetap harus merujuk pada keamanan manusia, dan secara ekonomis dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Temukan bahasan lengkapnya di artikel yang dapat dipesan di sini.
Rubrik Serangga di Sekitar Kita Majalah SERANGGA volume 1 nomor 1 (November 2010)